November 7

Tourism : From Promotion to Product Development

Promosi digencarkan, padahal persoalannya tidak disana. Yang obsolete adalah produknya tapi yang di genjot adalah promosinya. Ini merupakan pelajaran juga buat kita.

Ketika revolusi digital masuk, Kodak bukannya bebenah diri untuk menyikapi the new enemy tersebut namun sibuk dengan hal-hal terkait dengan marketing : branding, location, pricing, packaging, advertising dst. Ini adalah awal dari kemunduran Kodak. Tidak hanya Kodak, Khasali (2002) melihat bahwa perilaku ini sering ditemui dalam banyak usaha. Menurunnya penjualan dianggap hanya disebabkan oleh persoalan marketing. Promosi digencarkan, padahal persoalannya tidak disana. Yang obsolete adalah produknya tapi yang di genjot adalah promosinya. Ini merupakan pelajaran juga buat kita.

Indonesia tidak kurang-kurangnya melakukan promosi ke luar negeri. Paling tidak ada dua perhelatan besar internasional yang selalu rutin diikuti setiap tahun, yaitu ITB Berlin dan WTM London, dan tidak terhitung even-even luar negeri lain dengan skala yang lebih kecil. Namun hasil yang dicapai belum sangat dirasakan, terlebih bila dibandingkan dengan hasil yang dicapai oleh Malaysia dan Thailand. Tahun 1990 jumlah wisman Indonesia tercatat sebanyak 2,2 juta, Malaysia 7,4 juta, dan Thailand 5,3 juta. Tahun 2018 ASEAN (2019) mencatat bahwa wisman Indonesia baru mencapai angka 15,8 juta, sedangkan Malaysia sudah mencapai 25,8 juta, dan Thailand 38,3 juta.

Pertanyaannya: mengapa respon pasar tidak sebagaimana yang diharapkan? Jawabannya adalah bahwa kita sering melupakan produk pariwisata padahal kunjungan wisatawan ke suatu negara lebih dikarenakan ketertarikannya atas produk pariwisata negara tersebut. Sama seperti produk industri lainnya, ketika produk pariwisata kita telah usang, maka sebesar apapun promosi yang dikerjakan tidak akan banyak membantu menghadirkan wisman, atau tidak dapat menjadikan mereka sebagai loyal customers. Sesungguhnya, promosi adalah alat untuk menjual produk sehingga product development menjadi sangat penting untuk diperhatikan.

Danau Toba

Pict 1. Danau Toba “Kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Danau Toba melalui lima pintu masuk internasional pada periode 2015 hingga 2018 hanya tumbuh sebesar 1%. ” Source : databoks.katadata.co.id

Kita harus pahami bahwa minat pasar saat ini sudah berubah. Produk yang diciptakan 10 tahun yang lalu hanya dapat memenuhi permintaan pasar 10 tahun yang lalu dan bukan pasar saat ini, apalagi untuk pasar yang akan datang. Coba kita amati beberapa negara disekitar kita. Disamping sibuk dengan promosi, Singapura, Thailand, dan Malaysia juga secara konsisten membangun produk pariwisata mereka. Paket wisata nostalgia “Midden Java Reuni” yang tahun 1970an laris manis mendatangkan eks tentara Belanda untuk menengok Jawa Tengah saat ini tidak laku lagi. Mengapa? Generasi baru tidak berminat karena mereka tidak memiliki ikatan emosional dengan nostalgia ini sebagaimana yang dimiliki oleh kakek neneknya.

Produk pariwisata bukan hanya gunung, laut, dan hotel, namun total experience. Jadi, produk pariwisata lebih bersifat intangible menyangkut persoalan memorable experience, dan ini adalah inti pariwisata. Produk pariwisata akan berbeda dengan produk industri lainnya seperti mobil dan furniture yang dapat dibeli dimana saja, kapan saja, dan darimana saja. Hermantoro (2015) menjelaskan bahwa produk pariwisata terbentuk ketika wisatawan menikmati semua jasa dan fasilitas yang ada di destinasi pariwisata yang ditemuinya. Artinya, produk pariwisata yang baik hanya akan terbentuk ketika semua elemen di destinasi pariwisata (atraksi, amenitas, aksesibilitas) memiliki kualitas yang prima dan dapat saling berinteraksi dengan baik. Disini peran pemerintah sangat menentukan keberhasilannya. Sebagai seorang “konduktor” pemerintah harus mampu menjadikan para pemain musik (stakeholders) bermain apik mengikuti “partitur” (rencana induk kepariwisataan) yang sama.

Mungkin saat ini kita sudah harus mulai “bermain-main” dengan matrik Ansoff (Swarbrooke, 2002) yang menjelaskan hubungan antara pasar dengan produk.

Ansoff Matrix

Pict 2. Ansoff Matrix

Bagaimana sebaiknya treatment yang harus dilakukan agar produk lama dapat tetap menghadapi pasar lama dan dapat mengantisipasi pasar baru, ataupun produk baru dalam menghadapi pasar lama dan pasar baru. Jangan menunggu sampai kita harus mengalami kondisi terpuruk seperti dialami oleh Kodak dan teman-temannya. Kini waktu yang tepat untuk membangun produk pariwisata yang berkualitas dan memenuhi minat pasar. (Bavo/Trk/07/11/2019)