June 7

Small is Beautiful

Desa adalah unit administratif terkecil dalam struktur pemerintahan yang ada. Ia merupakan sebuah area geografis dengan batas administratif yang pasti dan memiliki kewenangan untuk urusan tertentu sebagaimana didefinisikan dalam Undang-undang nomor 6 tahun 2014. Desa itu memang kecil tapi indah. Membicarakan desa tidak hanya dalam urusan dia sebagai area geografis namun kehidupan alam, ekonomi dan sosial budaya yang kompleks. Dengan karakteristiknya ini maka desa masih memiliki kekayaan original yang dapat menjadi kekuatan utama dalam upaya menarik kunjungan wisatawan.

“Saat era knowledge-based tourism kondisi ini akan berbeda karena wisatawan mencari pengalaman lain dan itu hanya dapat dijumpai di desa”.

Dahulu memang wisata ke desa dianggap ndeso. Wisata itu ya ke kota: melihat gedung tinggi, clubbing, theme park, shopping dsb. Tidak hanya di dalam negeri, tujuan berwisata ke luar negeri pun hampir selalu menuju kota-kota besar. Coba kita test. Bagi yang pernah bepergian ke Swiss apakah mereka pernah berkunjung ke Zermatt? Mungkin tidak lebih dari 2 persen, sebagian besar pasti ke Zurich atau Geneva. Demikian pula ketika ke Austria kita lebih suka hanya sampai Wina dan sering melupakan Salzburg yang justru sangat menarik.

Ini terjadi pada era pleasure-based tourism. Saat era knowledge-based tourism kondisi ini akan berbeda karena wisatawan mencari pengalaman lain dan itu hanya dapat dijumpai di desa. Ternyata banyak orang kota pun belum pernah melihat pohon kopi walaupun ia setiap hari minum kopi. Demikian pula banyak anak-anak kota yang tidak dapat membedakan antara sapi dengan kerbau. Ketika mereka datang ke desa dan melihat itu semua secara nyata maka ini merupakan pengalaman yang tidak terlupakan bagi mereka.

Sejak itu wisata ke desa menjadi nge-trend di Indonesia. Ia mulai dikenal sebagai alternatif kunjungan wisata disaat krismon tahun 1997 ketika bepergian keluar negeri menjadi mahal akibat kenaikan kurs satuan dollar Amerika sebesar lebih dari 5 kali, dan saat ini desa wisata tumbuh pesat. Sekarang kita kenal nama desa-desa yang dahulupun tidak pernah tercatat dalam benak kita: Nglanggeran, Waerebo, Candirejo, Ponggok, dan banyak lagi. Mereka sekarang dicari, didatangi, dan dibuat lokasi selfie.

Era euforia terjadi. Ketika mulai banyak orang tertarik berwisata ke desa maka desa dianggap sebagai lokasi investasi baru bagi pembangunan pariwisata. Dengan pandangan ini maka desa menjadi tempat untuk melayani wisatawan, istilahnya: desa dibangun untuk pariwisata dan bukan pariwisata dibangun untuk (kesejahteraan masyarakat) desa. Akibatnya, kebijakan diarahkan untuk mendorong kunjungan wisatawan sebanyak-banyak nya ke desa, mendatangkan investasi dari luar ketika lokal dianggap lemah, dan memposisikan masyarakat lokal sebagai hamba. Disini tourist satisfaction lebih diutamakan dan terjadi kondisi business as usual. Desa hanya sebagai tempat usaha, dan pelaku dan penerima rejekinya adalah orang luar.

Ini terjadi karena adanya pemikiran bahwa pariwisata adalah sebuah big business dan segalanya harus dilakukan dalam skala besar. Chain hotel adalah sebuah cita-cita demikian pula theme park. Bila pikirannya seperti ini pasti warga lokal tidak kuat untuk berinvestasi. Akibatnya adalah pembenaran konsep korporasi karena masyarakat lokal dianggap tidak segera mampu mewujudkan cita-cita si pembuat keputusan yang sering kemrungsung untuk segera mendatangkan wisatawan. Ini sebuah kesalahan besar.

Desa memiliki karakteristik yang berbeda dengan kota. Ia berbasis pada kehidupan rural, jadi istilah tepatnya sebetulnya adalah rural tourism, dimana sumberdaya yang diutamakan adalah karakteristik rural, dan bukan village tourism yang lebih melihat desa sebagai lokasi bisnis. Ketika kita bicara karakteristik rural maka konsep yang digunakan bukan lagi konsep pariwisata sebagai industri namun pariwisata sebagai alat untuk menyejahterakan masyarakat desa sekaligus melestarikan lingkungannya. Menjadikan desa sebagai desa wisata dengan tujuan pertumbuhan akan menyebabkan desa kehilangan modal sosialnya, dan ini berbahaya untuk tujuan kehidupan desa jangka panjang. Biarkan dia tetap small and beautiful.

November 7

Tourism : From Promotion to Product Development

Promosi digencarkan, padahal persoalannya tidak disana. Yang obsolete adalah produknya tapi yang di genjot adalah promosinya. Ini merupakan pelajaran juga buat kita.

Ketika revolusi digital masuk, Kodak bukannya bebenah diri untuk menyikapi the new enemy tersebut namun sibuk dengan hal-hal terkait dengan marketing : branding, location, pricing, packaging, advertising dst. Ini adalah awal dari kemunduran Kodak. Tidak hanya Kodak, Khasali (2002) melihat bahwa perilaku ini sering ditemui dalam banyak usaha. Menurunnya penjualan dianggap hanya disebabkan oleh persoalan marketing. Promosi digencarkan, padahal persoalannya tidak disana. Yang obsolete adalah produknya tapi yang di genjot adalah promosinya. Ini merupakan pelajaran juga buat kita.

Indonesia tidak kurang-kurangnya melakukan promosi ke luar negeri. Paling tidak ada dua perhelatan besar internasional yang selalu rutin diikuti setiap tahun, yaitu ITB Berlin dan WTM London, dan tidak terhitung even-even luar negeri lain dengan skala yang lebih kecil. Namun hasil yang dicapai belum sangat dirasakan, terlebih bila dibandingkan dengan hasil yang dicapai oleh Malaysia dan Thailand. Tahun 1990 jumlah wisman Indonesia tercatat sebanyak 2,2 juta, Malaysia 7,4 juta, dan Thailand 5,3 juta. Tahun 2018 ASEAN (2019) mencatat bahwa wisman Indonesia baru mencapai angka 15,8 juta, sedangkan Malaysia sudah mencapai 25,8 juta, dan Thailand 38,3 juta.

Pertanyaannya: mengapa respon pasar tidak sebagaimana yang diharapkan? Jawabannya adalah bahwa kita sering melupakan produk pariwisata padahal kunjungan wisatawan ke suatu negara lebih dikarenakan ketertarikannya atas produk pariwisata negara tersebut. Sama seperti produk industri lainnya, ketika produk pariwisata kita telah usang, maka sebesar apapun promosi yang dikerjakan tidak akan banyak membantu menghadirkan wisman, atau tidak dapat menjadikan mereka sebagai loyal customers. Sesungguhnya, promosi adalah alat untuk menjual produk sehingga product development menjadi sangat penting untuk diperhatikan.

Danau Toba

Pict 1. Danau Toba “Kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Danau Toba melalui lima pintu masuk internasional pada periode 2015 hingga 2018 hanya tumbuh sebesar 1%. ” Source : databoks.katadata.co.id

Kita harus pahami bahwa minat pasar saat ini sudah berubah. Produk yang diciptakan 10 tahun yang lalu hanya dapat memenuhi permintaan pasar 10 tahun yang lalu dan bukan pasar saat ini, apalagi untuk pasar yang akan datang. Coba kita amati beberapa negara disekitar kita. Disamping sibuk dengan promosi, Singapura, Thailand, dan Malaysia juga secara konsisten membangun produk pariwisata mereka. Paket wisata nostalgia “Midden Java Reuni” yang tahun 1970an laris manis mendatangkan eks tentara Belanda untuk menengok Jawa Tengah saat ini tidak laku lagi. Mengapa? Generasi baru tidak berminat karena mereka tidak memiliki ikatan emosional dengan nostalgia ini sebagaimana yang dimiliki oleh kakek neneknya.

Produk pariwisata bukan hanya gunung, laut, dan hotel, namun total experience. Jadi, produk pariwisata lebih bersifat intangible menyangkut persoalan memorable experience, dan ini adalah inti pariwisata. Produk pariwisata akan berbeda dengan produk industri lainnya seperti mobil dan furniture yang dapat dibeli dimana saja, kapan saja, dan darimana saja. Hermantoro (2015) menjelaskan bahwa produk pariwisata terbentuk ketika wisatawan menikmati semua jasa dan fasilitas yang ada di destinasi pariwisata yang ditemuinya. Artinya, produk pariwisata yang baik hanya akan terbentuk ketika semua elemen di destinasi pariwisata (atraksi, amenitas, aksesibilitas) memiliki kualitas yang prima dan dapat saling berinteraksi dengan baik. Disini peran pemerintah sangat menentukan keberhasilannya. Sebagai seorang “konduktor” pemerintah harus mampu menjadikan para pemain musik (stakeholders) bermain apik mengikuti “partitur” (rencana induk kepariwisataan) yang sama.

Mungkin saat ini kita sudah harus mulai “bermain-main” dengan matrik Ansoff (Swarbrooke, 2002) yang menjelaskan hubungan antara pasar dengan produk.

Ansoff Matrix

Pict 2. Ansoff Matrix

Bagaimana sebaiknya treatment yang harus dilakukan agar produk lama dapat tetap menghadapi pasar lama dan dapat mengantisipasi pasar baru, ataupun produk baru dalam menghadapi pasar lama dan pasar baru. Jangan menunggu sampai kita harus mengalami kondisi terpuruk seperti dialami oleh Kodak dan teman-temannya. Kini waktu yang tepat untuk membangun produk pariwisata yang berkualitas dan memenuhi minat pasar. (Bavo/Trk/07/11/2019)

October 16

About Me

Saat kau merasa tengah berdiri di puncak tertinggi sebuah pendakian, menataplah ke awan-awan sebagai penyadaran bahwa puncak itu adalah dasar bagi tebing-tebing dibalik ketidaktahuanmu

Hai, salam jumpa di blog saya.

Nama saya Efraim Bavo Priyana, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka. Lahir pada 7 Mei 1993. Saya lahir dan besar di kota sejuta keindahan, Yogyakarta. Kota yang selalu memberikan alasan untuk kembali lagi bagi orang yang pernah menginjakkan kaki di tanahnya, dan pernah merasakan kehangatan warganya.

Latar belakang pendidikan saya adalah ilmu pariwisata, dan tourism attraction and destination sebagai konsentrasinya. Gelar Diploma 4 saya didapatkan setelah 4 tahun kuliah di STP Trisakti Jakarta. Kemudian saya melanjutkan program pascasarjana yang juga di STP Trisakti Jakarta selama 2 tahun, yang pada akhirnya membawa saya memperoleh gelar Magister Pariwisata di tahun 2017.

Tahun 2018 adalah awal petama kali saya bergabung dengan Universitas Terbuka sebagai dosen. Dan sekarang, saya bekerja pada UPT UPBJJ-UT Tarakan. Yup! Kalimantan Utara. Provinsi paling bungsu di republik ini, ternyata menyimpan segala keindahan yang belum terekspos. Melayani mahasiswa tapal batas membawa saya ke pengalaman menarik yang tidak akan saya lupakan.

Enjoy my blog (:

Category: Profile | LEAVE A COMMENT